BAB
I
PEDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Jacques delors selaku ketua komisi internasional tentang pendidikan untuk
abad 21 dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB), dalam laporannya “Learning the
treasure within” pad tahun 1996 mengemukakan tujuh macam ketegangan yang akan
terjadi serta menjadi ciri dan tantangan pendidikan abad 21 (dalam redja
mudyaharjo:2001/511-522) diantara adalah:
“Pertama, ketegangan antara globalisasi dengan lokal, kedua ketegangan
antara universal dengan individual, ketiga ketegangan antara tradisi dengan
kemoderenan, keempat ketegangan antara pertumbuhan-petumbuhan jangka panjang
dengan jangka pendek, kelima ketegangan antara perlunya kompetisi dengan
kesamaan kesempatan, keenam ketegangan antara perluasan pengetahuan yang
berlimpah ruah dengan kemampuan manusia untuk mencernakannya dan ketujuh adalah
faktor yang abadi yaitu ketegangan antara spiritual dengan material.
Tujuh ketegangan diatas merupakan prediksi seorang tokoh pendidikan yang
melihat gejala perubahan yang akan terjadi secara revolusioner pada skala
global. Hampir semua yang diprediksi oleh delors tersebut dapat dirasakan dan
diamati perubahan dan pergeseran masyarakat saat ini apalagi di masa yang akan
datang terutama persoalan spritualitas dan nilai-nilai agama semakin jauh
orientasi umat beragama. Pendidikan sering kali tidak dijadikan sebagai proses
pendewasaan, pencerdasan, peningkatan sumber daya manusia dalam menuju
perubahan kehidupan yang lebih baik tetapi justru yang terjadi adalah
pendidikan diasumsikan sebagai tempat pelatiha, pembibitan dan sarana produksi
untuk diperjual belikan, serta berorientasi bagaimana harus mendapatkan pekerjaan.
Upaya pemerataan kesempatan dalam pendidikan ini, pada pelita II
pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 6 tahun sejak 1988 dengan
penambahan sekolah tingkat dasar melalui intruksi khusus presiden (SD Inpres),
pada tahun 1993 pemerintah menaikkan wajib belajar 9 tahun, disertai dengan
penambahan jumlah guru tingkat dasar dan menengah sejak tahun 1990 an.
Pasca runtuhnya rezim totalitarian orde baru pada tahun 1998 telah
membawa dampak bagi lahirnya reformasi dan reorientasi tatanan sistem poliik
berbangsa dan bernegara yang sebelumnya terjadi hegemoni dan monopoli kekuasaan
oleh salah satu partai politik sebagai pendukung utama pemerintah orde baru.
Reformasi pendidikan menurut helen conel (2004:2) adalah “sebuahs strategi yang
disenagaja untuk merubah struktur, isi proses atau organisasi pendidikan dalam
menentukan arah untuk mencapai berbagai tujuan yang jelas”. Reformasi telah
berdampak pula pada kebijakan pemerintah dalam pembangunan khususnya di bidang
pendidikan yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi
dan demokratisasi. (Dr. Dede Rosyada MA, 2004)
Implikasi kebijakan pemerintah tidak hanya teraplikasi dalam wacana tetapi disemangati dengan perangkat aturan
yang memberi kekuatan hukum bagi eksistensi dan prospek pendidikan dimasa yang
akan datang. Maka lahirlah undang-undang no 22 dan 25 tahun 1999 tentang
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta
perimbangan keuangan pusat dengan daerah. UU otonomi daerah ini, sebagai
manifestasi dari perhatian pemerintah pusat agar daerah bisa mandiri dalam
pembuatan dan pengambilan kebijakan (keputusan) terkait kepentingan daerahnya
sendiri. UU ini telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang
diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan
lainnnya. Undang-undang tersebut mengamanatkan agar pemerintah daerah
memfasilitasi berbagai aktifitas pendidikan, baik sarana prasarana, ketenagaan
maupun berbagai program yang direncanakan oleh sekolah.
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah
membebaskan pemerintah pusat dari berbagai dari beban-beban yang tidak perlu
dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari ,
memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari
padanya. Pada saat yang bersamaan pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.
(H. Syaukani HR et all: 2003-172) Dilain pihak dengan desntralisasi kewenangan
pemerintahan ke daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang
signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacum, sehingga
kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domesti akan semaki kuat.
Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah
pusat pada daerah.
Visi otonomi daerah dapat dirumuskan kedalam tiga ruang lingkup . yaitu
lingkup politik, ekonomi dan sosial budaya.
Dibidang politik, otonomi adalah buah dari kebijakan desentaralisasi dan
demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas. Dibidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak
harus menjamin lancaranya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah,
dipihak lain terbukanya peluangbaagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
didaerahnya. Dibidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik
mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang
sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap
kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berkenaan dengan hal tersebut pemerintah juga mengeluarkan undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai pengganti
undang-undang no 2 tahun 1989, salah satu isu penting dalam undang-undang
tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam sektor pendidikan, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 8 bahwa “masyaraakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan”dan pasal
9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendididkan”. Dalam arti masyarakat berhak untuk berperan serta
dalam perencanaan, pelaksaaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Pasal ini merupakan kelajutan dari pasal 4 ayat 1 “pendidikan dilaksanakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajmukan
bangsa”. (UU NO 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional)
Dalam era otonomi daerah, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan
kontrol stategis dalam pelaksanaan berbagai program pemerintahterutama dalam
dunia pendidikan apalagi dengan diterapkannya “School Based Management” atau
menejemen berbasis sekolah (MBS) dengan melibatkan masyarakat sebagai komite
sekolah sekaligus bertindak sebagai mitra kerja kepala sekolah dalam merumuskan
beberapa kebijakan di sekolah. (Indrajati Sidi, 2003:133)
Konsep ini merupakan paradigma baru pendidikan yng memberikan otonomi
seluas-luasnya pada sekolah untuk melibatkan masyarakat dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka
lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Pada sistem
MBS ini sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan
prioritas, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber
kepada masyarakat maupun pemerintah, (E. Mulyasa, 2002:24) pandangan yang sama
dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam pengantar pendidikan partisipatif (Muis
Sad Imam; 2004) dengan istilah “Pendidikan Partisipatif” yaitu pendidikan yang
dalam proses pembelajarannya melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak,
baik pemerintah, guru, murid, orang tua murid, masyarakat dan lain-lain.
Secara historis, istilah menejemen berbasis sekolah berawal dari model
civic education yang dikembangkan di amerika serikat yang menggugat relevansi
lembaga pendidikan dengan tuntunan dan perkembangan masyarakat setempat. Sistem
ini merupakan model baru menejemen pendidikan yang memberikan otonomi luas pada
sekolah bersangkutan dan juga melibatkan masyarakat dalam menetapkan arah
kebijakan sekolah . otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber
daya manusia, modal, sumber belajar dan mengalokasikan sesuai dengan prioritas
kebutuhan lembaga pendidikan.
Secara sosiologis politis, dikeluarkannya kebijakan menejeman model ini
mempunyai beberapa alasan: pertama, pemerintah tidak lagi mampu memberikan
subsidi secara penuh kepada lembaga pendidikan akibat kebangkrutan pemerintah
sebagai dampak krisis moneter. Kedua, memberikan pemberdayaan sekolah dengan
memberikan otonomi yang lebih besar terhadap tuntunan masyarakat dan merupakan
sarana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Kebijakan otonomi
dalam pengelolaan sekolah merupakan potensi bagi sekolah untuk meninkatkan
pemahaman masyrakat terhadap pendidikan . menejemen model ini memberikan
kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah yang disertai dengan
seperangkat tanggung jawab. Dengan meberikan tanggung jawab pengelolaan sumber
daya manusia an pengembangan strategi menejemen sesuai dengan kondisi sekolah
setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru dan staf sehingga dapat
lebih berkonsentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan
menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong kepala sekolah untuk
meningkatkan kinerjanya secara profesional sebagai menejer di sekolah.
Berdasarkan MBS, tugas-tugas menejemen sekolah ditetapkan menurut
karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu warga sekolah
memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber
daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelnggarakan aktifitas
pendidikan yang lebih efektif demi perkembangan jangka panjang sekolah.
Terdapat empat prinsip MBS, antara lain:
Pertama, equifinalitas, yang didasarkan pada teori menejemen modern yang
berasumsi bahwa terdapat perbedaan cara untuk mencapai tujuan. Yaitu menekankan
fleksibelitas dan sekolah harus dikelola oleh sekolah itu sendiri berdasarkan
kondisinya masing-masing serta mendorong terjadinya desentralisasi kekusaan.
Kedua, prinsip desentralisasi yaitu sekolah harus diberikan kekuasaan dan
tanggung jawab untuk menyelesaikan secara efektif sesegera mungkin, dengan
tujuan memecahkan masalah secara efisien danmemberikan kontribusi terhadap
efektifitas belajar mengajar. Ketiga, sistem pengelolaan mandiri yaitu sekolah
memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran dan strategi menejemen,
mendistribusikan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain, memecahkan masalah
dan meraih tujuan menurut kondisi masing-masing. Keempat, inisiatif manusia,
yaitu menekankan pentingnya mengembangkan menejemen sumber daya manusia di
sekolah untuk lebih berperan dan berinisiatif. Dengan demikian MBS bertujuan
membangun lingkungan yang sesuai dengan para konstituen sekolah agar bisa
berpartisipasi secara luas dan mengembangkan potensi mereka.
Selain muatan diatas dijelaskan pula tentang standar anggaran minimal
pendidikan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 ayat 1 “dana pendidikan selain
gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
anggaran pendapatan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal
20% dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)” (UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003) . jika mencermati amanat
undang-undang tersebut mungkinkah negaraa atau daerah mampu menyediakan
anggaran minimal 20% dari total APBN atau APBD, apa konsekuensinya jika negara
atau daerah tidak memiliki kemampuan dalam menyediakan anggaran sebagaimana
yang diamantkan dalam undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam pasal
penjelasan disebutkan bahwa “pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan
secara bertahap”. Kalau usul ini menunjukkan toleransi kepada pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah agar pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20%
dilaksanakan secara bertahap.
Kebijakan anggaran tampaknya memang perlu menjadi fokus perhatian.
Anggaran intuk pendidikan dasar tidak boleh rendah atau kurang dari Rp. 58
triliun setiap tahun. Peningkatan anggaran tersebut harus dipakai secara
efisien untuk mencapai tujuan empat pilar kebijakan pendidikan, yaitu:
1)
Pemerataan kesempatan
pendidikan
2)
Peningkatan mutu pendidikan
3)
Efesiensi sumber daya
pendidikan, dan
4)
Peningkatan relevansi
pendidikan.
Dalam hal ini tentu tidak hanya menjadi beban pemerintah pusat dalam
meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan yang tertuang dalam empat pilar
kebijakan tersebut, tetapi daerah harus memiliki komitmen yang sama terutama
dalam megalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD maupun dalam memberikan
pelayanan pendidikan terhadap masyarakat. Dismaping itu pemerintah juga perlu
memberi jaminan bagi penduduk miskin untuk dapat mengakses pelayanan pendidikan
ditengah iklim privatisasi saat ini.antara laian melalui beasiswa bagi pelajar
miskin, pengendalian harga buku pelajaran dan menekan korupsi dalam distribusi
buku pelajaran.
B.
Batasan masalah
Batasan masalah merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian
kualitatif walaupun sifatnya masih tentatif. (Lexy j. Moleong, 2002:65). Agar
pelaksanaan penelitian ini terfokus dan terarah, maka peneliti akan membatasi
penelitian ini pada tiga aspek anatar lain:
1.
Kebijakan pemerintah daerah
dalam pembangunan khususnya di bidang pendidikan pada tahun 2006.
2.
Kebijakan pemerintah daerah
dalam mengalokasikan anggaran di bidang pendidikan pada tahun anggaran (APBD)
2006.
3.
Implikasi dari kebijakan
diatas terhadap perkembangan pendidikan di kabupaten Bondowoso.
C.
Fokus masalah
Masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus. Dalam penentuan
masalah menurut Guba dan Lincoln (1985:226) bergantung pada paradigma apakah
yang dimuat oleh seorang peneliti, yaitu apakah ia sebagai seorang peneliti,
evaluator atau sebagai peneliti kebijakan.
Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan pada peneliti kebijakan. Dengan
mengacu latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana kebijakan
pemerintah daerah dalam pembangunan dibidang pendidikan pada tahun 2006
2.
Bagaimana kebijakan
pemerintah daerah adalam mengalokasikan anggaran dibidang pendidikan pada tahun
2006
3.
Bagaimana implikasi
kebijakan pemerintah daerah terhadap perkembangan pendidikan di kabupaten
Bondowoso pada tahun 2006
D.
Tujuan penelitian
Dari rumusan permaslahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendiskripsikan konsep
kebijakan pemerintah daerah dalam bidang pendidikan
2.
Mendiskripsikan sejauh mana
kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran dibidang pendidikan
3.
Untuk mengetahui bagaimana
implikasi kebijakan pemerintah daerah terhadap perkembangan pendidikan di
kabupaten Bondowoso.
E.
Manfaat penelitian
Penelitian tentang “Implikasi Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Pendidikan
di Kabupaten Bondowoso” ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak, terutama:
1.
Pemerintah daerah dalam mengalokasikan
anggaran khususnya dibidang pendidikan agar ditinjau kembali antara kebutuhan
dan kemampuan anggaran pemerintah daerah.
2.
Memberikan kontribusi
kepada pemerintah daerah, para pakar, praktisi dan pengelola pendidikan serta
seluruh stakeholder agar benar-benar optimal dalam melakukan kontrol dan
pengawasan kebijakan dan perkembangan pendidikan.
3.
Para pimpinan dan pengelola
lembaga pendidikan agar serius dalam merespon perkembangan dan dinamika
pendidikan serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.
0 komentar:
Post a Comment